Oleh : Nuim Hidayat
KAUM Liberal ekstrim sering kali menafikan keberadaan Nabi. Bahkan pada sebuah perkuliahan di Universitas Indonesia tahun 2002, seorang lulusan IAIN Ciputat pernah menyatakan; “Muhammad itu kan mengaku-aku aja sebagai Nabi.”
Pernyataan ini seperti pernyataan orientalis yang tidak mengakui Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wassalam sebagai Nabi terakhir. Bagaimana memahami keimanan Nabi Muhammad ini?
Seorang tokoh Islam besar dari Pakistan pernah menjawabnya. Abul A’la Maududi dalam bukunya ‘Mabaadiul Islam” (Prinsip-Prinsip Islam) mengulas secara logis masalah keimanan kepada Nabi yang mendasar ini. Begitu pentingnya buku ini sehingga International Islamic Federation of Student Organization menerjemahkan dalam bahasa Indonesia dan menyebarkannya secara luas di Asia Tenggara.
Syeikh Maududi membahas tentang kenabian ini dengan bagus sekali. Pertama-tama ia membahas tentang karunia Allah kepada manusia. “Allah Subhahu Wata’ala telah menganugerahkan kepada manusia segala sesuatu yang dibutuhkannya : bakat, kecakapan, dan kekuatan untuk bekerja di dunia.
Tiap-tiap individu daripada masyarakat manusia memiliki sedikit atau banyak dari kekuatan jasmani dan akal, kekuatan faham, kecerdasan otak dan kepandaian berbicara. Allah mempunya tujuan-tujuan pada makhluknya yang hanya Ia sendiri yang mengetahuinya, karena Ia tidak menyamaratakan sekalian individu masyarakat manusia dalam pembagian bakat-bakat dan keahlian-keahlian ini di antara mereka. Jika kiranya disamaratakannya mereka dalam pembagiannya di antara mereka, niscaya masing-masing mereka tidak memerlukan yang lain dan tidak memperdulikannya sama sekali.
Oleh karena itu Allah Subhanahu Wata’ala telah menentukan berbagai-bagai bakat dan kecakapan yang diperlukan oleh jenis manusia dalam keseluruhannya.
Kemudian dibagikannya diantara berbagai-bagai individu, dimana Ia memberikan bagian yang ini dari salah satu kecakapan apa yang tidak diberikannya kepada yang lain. Dan memberikan bagian yang itu dari suatu kecakapan yang lain yang tidak diberikannya kepada yang ini.
Oleh sebab itu Anda lihat sebagian manusia melebihi yang lain, dalam kekuatan jasmani, sebagian mereka mempunyai kemahiran dalam salah satu profesi yang tidak ada pada yang lain. Sebagian mereka memiliki kecerdasan akal dan kekuatan faham yang tidak ada pada yang lain. Sebagian dari mereka condong secara naluri pada ketentaraan, sebagian dari mereka dilahirkan dalam satu kecakapan yang khas dalam bidang pemerintahan dan kekuasaan. Sebagian dari mereka dilahirkan dalam keahlian yang luar biasa dalam berpidato. Sebagian dari mereka mempunyai kecakapan dalam bidang karang- mengarang. Sebagian dari mereka tajam fikirannya, cemerlang otaknya dalam ilmu pasti, hingga ia dapat memecahkan masalah-masalah yang pelik-pelik dengan mudah dan menggemparkan dunia dengan ciptaan-ciptaannya. Sebagian dari mereka cerdas dalam urusan perundang-undangan, hingga dengan cepat pandangannya dapat menyelami kemusykilan-kemusykilan yang tidak dapat diselami oleh pandangan orang yang lain sampai berpuluh-puluh tahun.”
Maulana Maududi melanjutkan: “Semua itu adalah anugerah Allah yang dilimpahkannya kepada hambanya yang dikehendakinya. Seseorang tidak dapat mengadakan kecakapan-kecakapan ini pada dirinya sendiri dan tidak dapat mewujudkannya pada dirinya dengan pengajaran dan pendidikan. Karena ia semata-mata adalah bakat-bakat alamiah yang dikhususkan Allah bagi hambanya yang dikehendakinya menurut kebijaksanaannya.”
Kemudian imam pendiri Jamaat Islami bertanya:”Tetapi apakah cukup bagi hajat manusia dan kebahagiaannya di dunia dengan adanya orang-orang yang mahir dalam ilmu-ilmu ukur, pasti, kimia, peundang-undangan, politik, ekonomi dan lain-lainnya?
Sekali-kali tidak! Bahkan yang lebih dihajatkannya dari ilmu-ilmu pengetahuan ini semua, ialah adanya orang-orang yang menuntun manusia dan memimpinnya ke jalan Allah yang lurus. Benar bahwa tiap-tiap sarjana ilmu pengetahuan ini memberi petunjuk untuk mengetahui apa yang menjadi haknya di dunia ini dan apakah jalan untuk mempergunakannya. Tapi hajatnya untuk mengetahui siapakah yang menjadi Pemiliknya, siapakah yang mengaruniainya apa yang ada di langit dan di bumi dan apakah keirdhaan itu, lebih besar dan lebih utama
Syeikh Maududi kemudian melanjutkan bahwa Nabi-Nabi dianugerahi Allah dengan watak atau keahlian yang khas.
“Pandangannya (Nabi) menembus kepada perkara yang pelik-pelik yang tidak dapat dicapai oleh pAndangan orang-orang lain dan tidak dapat difahami mereka, meskipun mereka menumpahkan segenap tenaga mereka bertahun-tahun. Akal yang sehat dapat menerima semua apa yang dikatakannya dan semua hati menjadi saksi atas kebenaran apa yang diterangkannya.”
Ulama besar Pakistan ini melanjutkan: “Nabi itu adalah suci fitrahnya dan bersih perangainya. Ia tidak menempuh dalam tiap-tiap urusannya kecuali jalan kebenaran, kesucian dan keutamaan. Ia tidak mendatangkan dalam perkataan-perkataan dabn perbuatan-perbuatannya sesuatu yang tidak sesuai dengan kebenaran. Ia member petunjuk kepada jalan yang benar dan mendahului orang lain dalam melaksanakan apa yang diperintahkannya kepada orang banyak.Sukar untuk mendapatkan satu contoh di dalam kehidupannya yang menunjukkan bahwa perbuatannya bertentangan dengan perkataannya. Ia tahan menderita kemudharatan demi untuk kemaslahatan orang lain, dan tidak memudharatkan mereka untuk kemaslahatan dirinya. Hidupnya seluruhnya merupakan kebenaran, kemuliaan, kejujuran, ketulusan niat, cita-cita yang luhur dan perikemanusiaan yang tinggi yang tidak ada cacatnya. Semua ini memberikan kesaksian yang berbicara, bahwa Nabi Allah yang benar ini diutus kepada manusia untuk member petunjuk kepada mereka.”
Maududi kemudian menjelaskan tentang asal manusia dari Adam. Adam diangkat oleh Allah saat itu menjadi Nabi membimbing manusia yang belum banyak jumlahnya. Mereka diseur Nabi Adam untuk menyembah Allah yang satu. Keturunan Nabi Adam ini terus berkembang dan anak cucunya akhirnya ada yang menuruti nafsu atau syetan dalam melakukan penyembahan. Sehingga mereka akhirnya ada yang menyembah pohon, patung, matahari dan lain-lain. Masing-masing umat itu akhirnya mempunyai faham sendiri-sendiri. Allah Suhbhanahu Wata’ala kemudian mengirimkan Nabi/Rasul yang berganti-ganti kepada mereka. Di antara mereka ada yang taat ada yang maksiyat.
Menurutnya, sepeninggal Nabi, mereka seringkali mengadakan penyembahan yang berbeda dengan yang diserukan Nabi. Ada yang menyembah patung yang diserupakan Nabi, menyembah Nabi sebagai anak Allah dan seterusnya.
Manusia kemudian membutuhkan agama yang lengkap yang bisa menjadi panduan bagi seluruh umat manusia di dunia. Agama Budha bukanlah suatu agama yang lengkap. Ia hanya mengandung prinsip-prinsip akhlak.
Tetapi meskipun demikian, ia telah tersebar di negeri-negeri China, Jepang dan Mongolia di satu pihak, di Afghanistan dan Bukhara di pihak yang lain. Kemudian datang agama Masehi beberapa abad kemudian. Tidak diragukan bahwa Al Masih (Messiah) telah membawa ajaran Islam yang murni. Tetapi orang-orang yang datang sesudahnya telah mencampur agama ini dengan apa yang dikehendaki mereka dari mereka sendiri, hingga ia menjadi suatu agama yang kurang, yang dinamai mereka agama Masehi.
Meskipun demikian agama Masehi itu telah tersiar di Persia, Afrika dan Eropa, satu hal yang menunjukkan bahwa dunia pada masa itu sedang haus kepada suatu agama sedunia yang lengkap,”jelas ulama besar ini dalam bukunya Mabaadi’ul Islam (Prinsip-Prinsip Islam).
Akhirnya Allah menurunkan Nabi Muhammad kepada bangsa Arab. Arab yang letaknya di antara benua Asia dan Afrika dan dekat dengan Eropa.
Penduduknya juga mempunyai sifat-sifat yang ‘bagus’. “Adalah orang-orang Arab itu gagah-gagah dan berani-berani, tidak mengenal takut dan gentar, terbuka tangannya, menepati janji, merdeka berfikir dan menentukan pendapat, cinta kepada kemerdekaan dan kebebasan dan mengutamakan keduanya dari segala sesuatu yang lain. Semangat berani mati untuk membela kehormatan mengalir dalam urat nadi mereka. Mereka hidup dengan cara yang sederhana, tidak mengenal kemewahan dan kenikmatan. Tidak diragukan bahwa pada mereka terdapat banyak keburukan dan perbuatan mungkar. Tetapi pada hakikatnya sebab dari timbulnya keburukan-keburukan ini , tidak lain karena tidak adanya seorang Rasul dari Allah kepada mereka …”
Maududi melanjutkan: “Kemudian perhatikanlah bahasa Arab! Jika Anda baca bahasa ini dan Anda pelajari kesusastraannya, niscaya ternyata bagi Anda dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa tidak mungkin ada sesuatu bahasa di dunia yang lebih pantas dari bahasa ini untuk melahirkan pemikiran-pemikiran yang luhur dan menjelaskan makna-makna ilmu ketuhanan yang halus dan member pengaruh kepada segala hati.
Dengan kalimat-kalimat yang pendek dari bahasa ini, Anda dapat menjelaskan berbagai masalah yang penting. Ini adalah mempunyai pengaruh yang kuat pada hati manusia. Makna-makna Al-Quranul Karim sangat beerhajat kepada bahasa seperti ini. Jika demikian karena kebijaksanaan Allah Yang Maha Sempurna dan rahmatNya yang meliputi sekalian hambanya, dipilihnyalah tanah Arab untuk kenabian sedunia.”
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam turun di tengah-tengah bangsa Arab yang saat itu pembunuhan, perampokan, minuman keras, perjudian marak di sana.
Kehidupan telanjang laki-laki dan perempuan adalah hal biasa. Mereka pun tunduk dan menyembah kepada patung atau batu-batu yang mereka kira sebagai Tuhan atau jalan menuju Tuhan. Saat itu disana tidak ada budaya tulis menulis. Perpustakaan sama sekali tidak ada di sana.
Rasulullah turun di tengah-tengah bangsa yang tidak ada budaya tulis baca. Rasulullah pun tidak bisa tulis dan baca (ummi). “Tetapi adatnya, akhlaknya, tingkahlakunya dan pemikiran-pemikirannya adalah berbeda sama sekali dengan adat, akhlak, tingkah laku dan pemikiran-pemikiran kaumnya. Ia tidak pernah berdusta dalam perkataannya dan tidak pernah mengganggu seseroang dengan lidah dan tangannya. Adalah ia seorang yang lemah lembut perangainya, pAndai membawa diri dalam pergaulannya dan manis tutur sapanya. Tiap-tiap orang yang satu kali pernah duduk bersama dia, pasti menyintainya dan terikat kasih tersangkut sayang kepadanya. Ia tidak pernah mengambil sesuatu dari seseorang meskipun barang itu remeh dengan jalan yang tidak baik.Ia memiliki bagian yang besar dari kejujuran, kebenaran dalam berkata-kata dan kesucian, yang menyebabkan banyak di antara putera-putera kaumnya yang mengamanatkan harta benda mereka yang berharga kepadanya. Ia memeliharanya sebagaimana ia memelihara dirinya dan hartanya. Orang banyak bersandar kepadanya dan kepada keamanatannya, hingga ia digelari mereka dengan al amin…”
Selain itu Rasulullah adalah orang yang suci hatinya, cerdik dan cerdas otaknya. Ia benci kepada penyembahan berhala dan patung, padahal ia hidup turun temurun di kalangan mereka. Ia tidak pernah bertunduk kepada makhluk. Ia menyaksikan masyarakatnya dalam kejahilan, sehingga ketika ia berusia 40 tahun ia mulai keluar dari Makkah untuk mensucikan dirinya, mengasingkan dirinya dari kegelapan yang telah menyelubungi masyarakatnya. Hingga akhirnya wahyu turun
kepadanya di Gua Hira’.
Dan kemudian ia mengajak bangsanya untuk menyembah Tuhan yang satu, yaitu Allah. Mengajak mereka melakukan amal shaleh, menghindari pembunuhan sesama, menjauhi pelacuran-minuman keras-perjudian dan hal-hal yang diharamkan Allah Subhanahu Wata’ala. Perkataannya pun cerdas dan mengagumkan luar biasa. Lafazh-lafazh Al-Qur’an yang diucapkannya adalah puncak kefasihan bahasa.*
Penulis peneliti Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS)
No comments:
Post a Comment