Pakar Fiqih, Pecinta Ahlul Bayt
Di samping mengajar, Syaikh Muhammad Ba Athiyyah juga banyak menghasilkan karya-karya penting. Di antaranya Ad-Durrah Al-Yatimah Syarh As-Subhah Ats-Tsaminah, Ghayah Al-Muna Syarh Safinah An-Naja, Zadul-Labib Syarh Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, Mujaz Al-Kalam Syarh Aqidatul-Awam.
Ramah, murah senyum, rapi, dan berwibawa. Itu kesan yang muncul bila kita berhadapan dengan sosok yang menjadi figur kita kali ini, Syaikh Muhammad bin Ali Ba Athiyyah. Tokoh ulama dari Mukalla, Hadhramaut, ini kini sedang berada di Jakarta. Dan ini adalah kunjungannya yang pertama kali ke Indonesia.
Beberapa waktu lalu, alKisah menemui dan mewawancari beliau di tempatnya menginap di sebuah apartemen di bilangan Casablanca, Jakarta Selatan. Dalam perjumpaan itu beliau didampingi Habib Abdurrahman Basurrah serta beberapa murid dan perwakilan beliau di Indonesia. Beliau menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dengan lancar, cerdas, dan terfokus pada isi pertanyaan yang diajukan.
Syaikh Muhammad bin Ali Ba Athiyyah adalah seorang pakar fiqih dan memiliki perhatian yang besar untuk mencetak kader-kader ulama. Di antaranya, beliau lakukan melalui perguruan tinggi yang didirikannya, Jami‘ah Al-Imam Asy-Syafi‘i, di Mukalla, Hadhramaut, Yaman Selatan. Perguruan tinggi ini berawal dari masjid yang didirikan pada tahun 1421 H/2000 M oleh Syaikh Umar Ahmad Bahsin dan Syaikh Umar Abud Bamakhis.
Universitas yang didirikan tahun 2012 ini memiliki misi mencetak generasi muda muslim yang profesional dalam bidang pendidikan dan dakwah Islamiyah serta berakhlaq karimah, serta meningkatkan kemampuan mereka dalam menelaah dan menggali khazanah keilmuan dalam upaya menginternalisasikan nilai-nilai keislaman di dunia modern.
Program studi yang ditawarkan ada dua, yakni program diploma dua tahun dan program sarjana S1 selama dua tahun berikutnya. Perkuliahan dimulai setiap bulan Syawwal. Masa belajarnya empat tingkat, masing-masing tingkat terdiri dari dua semester, dan setiap semester empat setengah bulan.
Lembaga ini kini telah memiliki banyak perwakilan, yakni di Jawa Timur, Gresik, Jombang, Surabaya, Lamongan, Bojonegoro, Pasuruan, Malang, dan Bangkalan-Madura. Kemudian Jawa Tengah, di Benda, Brebes. Lalu Jawa Barat di Cirebon. Juga tentu perwakilan Jakarta, di Condet. Sedangkan perwakilan di luar Jawa adalah di Samarinda, Kalimantan Timur. Bagi para calon mahasiswa asal Indonesia, dijadwalkan pemberangkatan dua kali dalam setahun, yakni bulan Rabi’ul Awwal dan bulan Syawwal.
Menariknya, meskipun merupakan perguruan tinggi formal yang dikelola dengan sistem perkuliahan dan manajemen modern, pengajarannya dipadukan dengan metode-metode salaf. Di samping mengikuti paket-paket perkuliahan setiap semester sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, para mahasiswa juga menghafal berbagai kitab sebagaimana yang biasa di hafal di pesantren-pesantren, yakni kitab-kitab Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, Matn (Manzhumah) Az-Zubad, Matn (Manzhumah) Aqidah Al-Awam, Matn (Manzhumah) Jauharah At-Tauhid, (Manzhumah) Mulhatul-I‘rab, (Manzhumah) Rahabiyyah, (Manzhumah) Al-Bayquniyyah, (Manzhumah) As-Sullam Al-Munawwaq.
Informasi lebih lengkap mengenai perguruan tinggi yang beliau pimpin serta wawancara ihwal hal itu dengan beliau insya Allah akan dimuat pada edisi mendatang.
Pada diri Syaikh Muhammad bin Ali bin Muhammad bin Sa‘id bin Abdullah Ba Athiyyah, ada disebutkan “Ba Athiyyah”. Qabilah Ba Athiyyah berasal dari Qabilah Kindah, sebuah qabilah yang termasyhur.
Syaikh Muhammad Ba Athiyyah lahir pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 1380 H, bertepatan dengan 1960 M, di Qarn Ba Hakim, salah satu desa di Wadi Du‘an Al-Ayman, Hadhramaut. Ayahandanya berasal dari Khudaisy, sebuah desa di Wadi Du‘an Al-Ayman juga, tetapi kemudian pindah ke Ba Hakim bersama ibundanya (nenek Syaikh Muhammad), seorang wanita yang berasal dari Bani Baghlaf dari negeri Khusawfar. Neneknya itu pergi ke sini dan menikah setelah sebelumnya bercerai dengan suaminya yang kemudian pergi ke Jawa.
Sekitar sebulan sebelum Syaikh Muhammad lahir, pintu rumah ayahandanya diketuk oleh sejumlah orang yang dikenal kebaikannya. Mereka mengatakan, “Selamat dengan Muhammad yang datang.”
Maka ayahandanya berkata kepada mereka, “Istriku belum melahirkan.”
Mereka tersenyum lalu pergi. Mungkin inilah yang mendorong sang ayah menamakannya “Muhammad”.
Di masa kanak-kanak, perkembangan Syaikh Muhammad jauh dari perkembangan teman-teman sebayanya. Ketika usianya mencapai usia tamyiz (usia kanak-kanak yang sudah dapat membedakan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang bagus dan mana yang buruk, dan seterusnya), ayahnya pergi melakukan perjalanan, sehingga ia kemudian diasuh oleh ibundanya.
Sebelum berusia enam tahun, ia dibawa sang ibu ke Ma‘lamah Al-Qarn. Di sana ia belajar membaca, menulis, dan Al-Qur’an Al-Karim. Di usia sangat belia itu, ikatannya dengan ahlul bayt telah sangat kuat, karena di desanya tinggal seorang quthb yang bersinar, Habib Shalih bin Abdullah Al-Attas, dan dua orang saudaranya, Habib Muhammad dan Habib Aqil. Syaikh Muhammad kecil selalu pergi ke tempat beliau dan duduk di sisinya satu atau dua jam untuk mendapatkan keberkahan dan doanya. Habib Shalih pun sangat mencintainya. Hal ini menumbuhkan dalam hatinya rasa cinta kepada ahlul bayt sejak usia sangat muda.
Sejak kecil hatinya juga telah sangat terkait dengan rumah-rumah Allah. Di usia tujuh hingga delapan tahun, ia senantiasa pergi ke masjid. Saat itu pula ia mulai memasuki madrasah Ba Shadiq Al-Jufri di Khuraibah, di sana terdapat seorang faqih dan keberkahan kota Du‘an, yakni Habib Hamid bin Abdul Hadi Al-Jilani, ayahanda Habib Umar Al-Jilani, yang kini sering berkunjung ke Indonesia. Ia tinggal di sana selama satu tahun, kemudian pindah ke madrasah-madrasah formal dan menimba ilmu di sana.
Pada tahun 1390 H/1970 M, saat usianya 10 tahun, sang ayah membawa mereka sekeluarga ke Hijaz. Maka sampailah ia dan keluarganya ke Jeddah di akhir bulan Dzulhijjah. Ia melanjutkan pendidikannya di madrasah-madrasah di kota ini hingga menyelesaikan pendidikan tingginya.
Syaikh Muhammad mengambil ilmu dari banyak ulama terkemuka. Di antara mereka adalah Habib Shalih bin Abdullah Al-Attas. Sejak muda ia telah sangat dekat dengannya dan sangat mencintainya. Di antara gurunya juga adalah Habib Abdullah Al-Habsyi. Beliaulah guru pertamanya setelah kepindahannya ke Jeddah. Kepadanya ia membaca kitab-kitab fiqih Safinatun-Najah dan Kifayatul Akhyar. Sedangkan kitab nahwu yang dibacanya kepada beliau adalah Al-Kawakib Ad-Durriyyah. Ia juga menghadiri pengajian yang beliau sampaikan di masjid dengan pegangan kitab Al-Idhah, karya Al-Imam An-Nawawi.
Di masa itu Syaikh Muhammad juga berubungan dengan seorang syaikh terkemuka, Syaikh Karamah Suhail. Kepadanya ia membaca kitab Safinatun Najah dan syarahnya, Nailur Raja’, sebanyak tiga kali. Syaikh Karamah berkata kepadanya, “Kami membacakan kepadamu kitab-kitab ini, tetapi syarah yang kami berikan kepadamu adalah syarah-syarah kitab Al-Minhaj.” Kemudian beliau membaca kepadanya pembukaan kitab Al-Minhaj. Setelah itu sang guru menyuruhnya untuk membaca kitab `Umdah As-Salik.
Di antara gurunya juga seorang syaikh yang mencintai ahlul bayt, Syaikh Muhammad bin Umar Ba Khubairah. Gurunya ini sangat mencintainya. Kepadanya Syaikh Muhammad membaca kitab Bidayah Al-Hidayah, karya Al-Imam Al-Ghazali, dan mendapatkan ijazah darinya.
Gurunya yang lain adalah seorang yang sangat tawadhu‘, Habib Abdurrahman bin Ahmad Al-Kaf. Syaikh Muhammad sangat sering menyertainya, terutama di masa Krisis Teluk. Kepadanya ia membaca kitab Dhau’ Al-Mishbah Syarh Zaitunah Al-Ilqah. Juga membaca sebagian dari kitab Al-Minhaj. Lalu kitab Sullam At-Taysir, sebelum kitab itu diterbitkan.
Syaikh Muhammad juga berguru kepada Al-Allamah Al-Habib Abu Bakar Attas bin Abdullah Al-Habsyi. Ia membaca kitab Riyadhush-Shalihin dan mendapatkan ijazah darinya. Ia pun belajar kepada Habib Ahmad bin Alwi Al-Habsyi dan membaca kitab fiqih dan nahwu kepadanya.
Masih banyak lagi gurunya yang lain, baik dari kalangan habaib maupun yang lainnya.
Sebagaimana ia menuntut ilmu sejak kecil dengan penuh semangat dan kesungguhan, demikian pula halnya dalam mengajar. Sebelum mencapai usia dua puluh tahun, ia telah mengajar di masjid-masjid mengenai ilmu tajwid, hadits, fiqih, faraidh, nahwu, dan ilmu kalam. Dan ini terus berlangsung hingga sekarang, atas perintah para gurunya. Ratusan orang telah belajar kepadanya mengenai Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syari’at. Sebagian di antara mereka telah hafal Al-Qur’an. Sebagian lagi ada yang kemudian mengkhususkan diri dalam mendalami ilmu-ilmu syari’at dan ilmu-ilmu lainnya.
Syaikh Muhammad juga telah mengajar di Madrasah Al-Falah dan madrasah-madrasah lainnya selama kurang lebih dua puluh tahun. Atas perintah guru-gurunya, ia juga berdakwah dan menyebarkan ilmu di berbagai tempat di Yaman umumnya dan Hadhramaut khususnya. Dan sebagaimana para ulama yang lain dan salafush shalih, ia pun menghadapi kesulitan-kesulitan, gangguan-ganguan, dan rintangan-rintangan selama belajar dan mengajar. Ia pun telah menanggung beban-beban yang berat sepeninggal ayahandanya. Namun semuanya tidak menjadi halangan baginya untuk menuntut ilmu dan menyebarkannya.
Sebagai pribadi, Syaikh Muhammad adalah seorang yang sangat tawadhu’. Ia tak memandang dirinya memiliki kedudukan atau tempat tersendiri meskipun para gurunya banyak memujinya dan bahkan iri (dalam arti yang positif) kepadanya.
Sifat lain dari dirinya adalah sangat cinta dan menghormati ahlul bayt, baik yang besar maupun yang kecil. Ia juga seorang yang selalu berwajah ceria, bergaul dengan orang lain dengan sangat baik, dan berpenampilan rapi.
Sebagai pendidik, ia mendidik para muridnya dengan ucapan dan tindakan di masa ketika pendidikan dalam arti sesungguhnya telah langka.
Ia pun selalu menjaga dan menyambung hubungan dengan kaum kerabat dan para ulama, dan senantiasa mengikuti perkembangan mereka dan membantu mereka. Kebiasaan lain dirinya adalah selalu mendoakan para ulama dan penuntut ilmu di setiap tempat.
Dalam hal keilmuan, ia seorang yang banyak melakukan muthala‘ah, dan sangat menekuni ilmu fiqih serta bahasa dan sastra Arab.
Perhatiannya besar terhadap kondisi-kondisi yang dihadapi umat. Ia pun selalu menyerukan orang agar senantiasa berpegang pada Ahlussunnah wal Jama’ah.
Sebagaimana para ulama lainnya, ia pun sangat menyayangkan keengganan anak-anak muda untuk menuntut ilmu, khususnya ilmu fiqih.
Sampai sekarang ia tetap mengajar Al-Qur’an dan ilmu-ilmu syari’at. Pintu rumahnya senantiasa terbuka bagi mereka yang ingin menuntut ilmu dan menginginkan mengambil bagian dari warisan nabi mereka.
Di samping mengajar, Syaikh Muhammad juga seorang yang banyak menghasilkan karya. Lewat tangannya telah lahir beberapa kitab penting. Di antaranya Ad-Durrah Al-Yatimah, yang merupakan syarah kitab As-Subhah Ats-Tsaminah, nazham Safinatun Najah, yang disusun oleh Habib Ahmad Masyhur bin Thaha Al-Haddad. Itu atas saran Habib Ahmad sendiri agar ia menyusun syarah kitab tersebut yang sedang, tidak terlalu tipis dan tidak pula terlalu tebal. Habib Ahmad juga menyarankannya menyusun bahasan tentang haji untuk menyempurnakan Matn Safinatun Najah. Saran ini pun ia laksanakan. Kitab ini telah dicetak dan mendapat sambutan yang sangat baik dari para guru dan para pelajar.
Syaikh Muhammad juga menyusun kitab Ghayah Al-Muna Syarh Safinah An-Naja. Kitab ini telah dicetak dan memiliki banyak keistimewaan, di antaranya bahasanya yang mudah dicerna.
Karya lain yang disusunnya di antaranya Zadul-Labib Syarh Matn Al-Ghayah wa At-Taqrib, sebuah syarah yang luas yang menghimpunkan banyak persoalan dalam semua bab fiqih yang ada. Ia pun mensyarah kitab tauhid dengan judul Mujaz Al-Kalam Syarh Aqidatul-Awam. Kitab ini telah dicetak dan telah dirasakan manfaatkan di berbagai negeri.
No comments:
Post a Comment