Suatu ketika Majelis Sayyidul Wujud dilaporkan kepada polisi dengan hasutan mengganggu ketenteraman masyarakat, namun justru kepolisian mendukung majelis ini.
Tahun kesepuluh kenabian dikenal sebagai ‘amul huzni (tahun duka) bagi Nabi Muhammad SAW. Dua orang yang sangat dicintainya telah meninggal dunia, yaitu istri tercinta, Siti Khadijah RA, dan pamanda terkasih, Abu Thalib. Kedua orang ini adalah pembela dan pelindung yang sangat tabah, kuat, dan disegani masyarakat Makkah, bagi Rasulullah SAW. Dengan meninggalnya Siti Khadijah dan Abu Thalib, orang-orang kafir Quraisy semakin berani mengganggu dan menyakiti Nabi Muhammad SAW.
Karena penderitaan yang dialami Nabi Muhammad SAW semakin hebat, beliau bersama Zaid bin Haritsah berencana pergi ke Thaif guna meminta bantuan serta perlindungan dari keluarganya yang berada di kota itu.
Karena mereka adalah para pembesar dan orang-orang terhormat di kota itu, Nabi Muhammad SAW berharap dakwahnya diterima oleh masyarakat Thaif. Nabi Muhammad SAW beranggapan akan mendapat pertolongan, perlindungan, dan bantuan dari kerabatnya itu. Tapi harapan itu sungguh jauh dari kenyataan, bahkan beliau diusir dan dihina.
Tak hanya keluarga, penduduk Thaif pun melakukan penolakan dan memperlakukan Rasulullah SAW dengan kasar.
Saat menghindari orang-orang yang menganiaya mereka, Rasulullah SAW berdoa, “Ya, Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kurangnya kesanggupanku, dan kerendahan diriku berhadapan dengan manusia.
Wahai Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Engkaulah Pelindung bagi si lemah dan Engkau jualah pelindungku. Kepada siapa diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku, ataukah kepada musuh yang akan menguasai diriku?
Jika Engkau tidak murka kepadaku, semua itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku.
Aku berlindung dengan sinar cahaya wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebajikan di dunia dan di akhirat dari murka-Mu yang hendak Engkau turunkan pada diriku. Sungguh tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.”
Lalu, di angkasa, sekumpulan awan meneduhi keduanya yang sudah letih berlari menyelamatkan nyawa dan risalah. Saat itulah Rasulullah SAW mendengar ucapan salam seseorang dari atas sana. Seketika beliau menengadahkan kepalanya. Nun di atas sana, Jibril AS berkata, “Wahai Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengar apa yang dikatakan kaum Tsaqif serta jawaban mereka atas ajakanmu. Bersamaku ini adalah malaikat penjaga gunung yang diutus Allah untukmu. Maka perintahkanlah apa saja yang Engkau kehendaki.
Seandainya Engkau ingin dia menghimpitkan Gunung Abu Qubais dan Bukit Ahmar ke tubuh dan seluruh perkampungan mereka, niscaya dia akan melakukannya!”
Sesaat kemudian, malaikat penjaga gunung muncul dan memberikan salam kepada Rasulullah SAW. Malaikat gunung ini meyakinkan apa yang telah dikatakan oleh Malaikat Jibril AS tadi.
“Perintahkanlah aku. Seandainya engkau menghendaki kedua bukit ini dihimpitkan kepada mereka, niscaya akan aku lakukan dengan segera!” ujarnya.
Namun Rasululullah SAW menolak tawaran itu. Beliau bahkan memanjatkan doa kepada Allah agar penduduk Thaif diberi hidayah. Dengan tetesan air mata, beliau SAW berdoa, “Ya Allah, berilah hidayah kepada kaumku ini, karena sungguh mereka masih tidak mengetahui.” Kemudian Rasulullah SAW pun bermunajat dengan sepenuh hati agar dari keturunan mereka nantinya lahir generasi-generasi yang beriman, menyembah Allah semata.
Penggalan kisah indah penuh hikmah dari Rasulullah SAW ini sangat layak dijadikan pembukan perkenalan kita dengan figur kita kali ini, yaitu Habib Ahmad Kazim bin Lukman Al-Kaf.
Teramat singkat memang pertemuan alKisah dengan Habib Ahmad di tengah-tengah kesibukan dakwahnya membina umat. Namun dari pertemuan singkat ini, banyak penggalan kisah hidup habib muda yang lahir di Palembang 5 Mei 1977 ini, yang dapat dijadikan sebagai pelajaran.
Majelis Sayyidul Wujud
Berangkat dari keluarga agamais, sejak kecil Habib Ahmad Kazhim telah belajar agama dan umum di Madrasah Diniyah Darul Muttaqin, Palembang. Dan untuk takhassus ilmu-ilmu syari’at, Habib Ahmad Kazim menimba langsung dari sang kakak tercinta, Habib Muhammad Rafiq Al-Kaf.
Namun, meskipun cukup banyak memiliki ilmu agama, dalam kehidupannnya, Habib Kazim mengaku bahwa dirinya termasuk anak yang paling banyak menyusahkan kedua orangtua dan saudara-saudaranya.
Untuk menambah pengalaman, Habib Kazim merantau ke Jawa Barat dan menikahi seorang gadis Ciwidey bernama Ria Fadhilah. Setelah menikah itulah, Habib Kazim merasakan lembaran baru kehidupannya dimulai.
Allah memberikan ujian yang berat berupa kesulitan ekonomi ditambah istri yang didera sakit kanker ganas. Hari demi hari semakin berat terasa dijalani oleh Habib Kazim, hingga ia mencoba mengadu nasib ke Jakarta. Namun, penderitaan tak juga kunjung berlalu, bahkan Habib Kazim terlilit utang. Cobaan hidup yang kian berat semakin memuncak tatkala istri tercintanya dipanggil oleh Allah SWT.
Saat-saat yang teramat pahit itulah yang menyadarkan Habib Kazim bahwa selama itu dia jauh dari Allah SWT. Dan satu hal yang tak pernah terlupakan dalam hidupnya, di saat kondisi sangat terjepit dan dililit utang, justru orang yang berkenan menolongnya adalah seseorang yang tak mampu secara finansial. “Orang miskin yang mau nolong saya,” kata Habib Kazim.
Orang baik tersebut meminta agar Habib Kazim mau menerima uang dari hasil menggadaikan surat tanah satu-satunya.
Dari sinilah Habib Kazim bangkit dan bertekad untuk membuka lembaran hidupnya untuk mengabdi kepada ilmu dan melayani masyarakat.
Habib Kazim mulai merintis mendirikan majelis ilmu di Cempaka Putih, Jakarta, yang saat ini diteruskan oleh kawannya, Habib Muhammad Syahab.
Adapun awal mula hijrah ke Bandung, Habib Kazim mengungkapkan, itu berawal dari isyarat salah seorang gurunya. Gurunya berkata, “Bila engkau hendak hijrah, pilih satu dari dua tempat, Kalsel atau Jawa Barat.”
Dari isyarat itu dipilihlah Jawa Barat, dengan alasan karena di Caringin terdapat makam sang kakek tercinta, Abdullah bin Abu Bakar Al-Kaf, dan istri tercinta pun dimakamkan di daerah Ciwidey. Dan selanjutnya yang menjadi pilihannya adalah kota Cimahi, Bandung.
Di Cimahi, pertama kali membuka majelis ta‘lim di Masjid Agung Cimahi dengan nama “Majelis Sayyidul Wujud”. Nama ini adalah gelar Nabi SAW dan dipilih dengan harapan semoga masyarakat lebih mengenal dan mencintai Rasulullah SAW.
Karena semakin berkembang, dibentuklah majelis keliling antar-masjid. “Dan alhamdulillah, sudah lebih dari setahun ini, kita telah mengadakan pengajian akbar bulanan yang diadakan di sepanjang Jalan Raja Bentang ini dan dihadiri ribuan jama’ah dan muhibbin dari berbagai penjuru Bandung,” kata Habib Kazim.
Namun, itu semua tak berjalan mulus begitu saja. Di antara tantangannya, sering kali rumahnya dilempari batu dan kotoran, panggung majelis pun beberapa kali akan dirobohkan, bahkan ada juga sekelompok masyarakat yang berkeliling untuk menggalang tanda tangan warga untuk mengajak berdemo agar majelis dibubarkan dan Habib Kazim serta keluarganya hengkang dari rumahnya.
Bahkan, suatu ketika Majelis Sayyidul Wujud dilaporkan kepada pihak polisi dengan hasutan mengganggu ketenteraman masyarakat, justru pihak kepolisian mendukung majelis ini dengan mengatakan bahwa majelis semacam ini majelis yang baik dan semestinya didukung.
“Alhamdulillah, dengan izin Allah SWT, semua tantangan dapat diatasi,” ucapnya penuh syukur.
http://majalah-alkisah.com/index.php/figur/26-profile-tokoh/3155-habib-ahmad-kazim-bin-lukman-al-kaf-dakwah-penuh-onak
No comments:
Post a Comment