Atheis cenderung menyukai pembahasan atas sesuatu tanpa melibatkan Tuhan. Beberapa diantaranya meyakini bahwa jika memang ide tentang Tuhan itu benar, tentu mereka bisa melakukan pendekatan ilmiah atas postulat ini. Sebenarnya jika mereka konsisten pada definisi “ilmiah”, tidak sulit untuk membuktikan keberadaan Tuhan, sayangnya acapkali mereka menerima frame ilmiah terhadap satu fenomena sementara untuk kasus yang lain mereka justru menolaknya. Kabar buruknya adalah bahwa dalam kondisi tanpa Tuhan, perjalanan mencapai kebenaran menghadapi “perlawanan” dengan rasio 1:2. Artinya 1 arah kebenaran melawan 2 arah kesalahan. Tentu saja data ini bersumber dari “wilayah Tuhan” yang ditolak Atheis. Tapi ada baiknya kita sampaikan pada mereka, kasihan juga kalau mereka tak bisa “menemukan” Tuhan hanya karena tidak mengetahui fakta ini.
Menemukan Tuhan Tanpa Campur Tangan Tuhan
Perlu data statistik untuk mengatakan bahwa ada atheis yang mencari Tuhan. Dalam banyak kasus alih alih mencari Tuhan, seorang atheis justru merupakan orang yang berusaha "menghindari" Tuhan. Namun begitu boleh kita berandai, jika ada seorang atheis berusaha menemukan Tuhan tanpa campur tangan Tuhan maka dia hanya bisa menempuh fase pertama saja dari rangkaian tahap pencarian Tuhan. kenapa? Karena fase berikutnya semuanya melibatkan "wilayah Tuhan" Berberapa atheis terjerembab karena memaksakan diri untuk tetap "tanpa Tuhan" ketika menempuh fase dua dan kelanjutannya. Orang mengira betapa sempit "wilayah manusia" sampai sampai hanya dibatasi satu fase saja. Tapi dibalik itu justru tersimpan fakta bahwa Tuhan teramat sayang pada manusia. Hanya dengan melakukan hal yang dibutuhkan pada fase pertama maka seorang manusia bisa sampai pada "ide" Tuhan yang sebenarnya. Lalu apa "fase pertama" pencarian Tuhan itu? Langkah pertama yang harus dilakukan adalah:
Merefresh hati (akal, heart, mind) hingga berada pada performa yang benar (fitrah sesuai aslinya terbebas dari prasangka) sembari menegaskan sebuah keberanian untuk mengikuti hati tersebut ketika sudah mengeluarkan keputusan logisnya. Ada dua perangkat lain yang dimiliki manusia yang berfungsi sebagai pemasok data bagi hati ini, yaitu penglihatan dan pendengaran. Dua fungsi ini juga harus dijaga agar berada dalam performa aslinya.
Kondisi yang harus tercapai dalam fase ini adalah, bahwa seseorang harus mampu melihat, mendengar, meneliti, memilah data, kemudian dengan kemampuan hatinya dia bisa membedakan data yang benar dari yang salah, hingga pada akhirnya berani mengikuti yang benar dan meninggalkan yang salah.
Benarkah dalam fase ini manusia bisa melakukannya tanpa Tuhan? Jawabnya "Ya" Beberapa orang mencontohkan dengan kasus "1+1=2" "kiri = bukan kanan" "awal = bukan akhir" kebenaran logika semacam itu tidak perlu menunggu petunjuk dari Tuhan. Logika semacam ini merupakan algoritma dasar yang built in dalam sebuah chip prosessor bernama hati (qolbun = heart = mind).
Jika seseorang telah sampai pada kondisi di atas kemudian sanggup menjaga konsistensinya maka sebenarnya tinggal menunggu waktu. Dia bisa meletakkan sumber-sumber data tentang Tuhan yang berupa buku buku sains, quran, bible, taurat, wedha, tripitaka, dan kitab kitab agama yang lain, di atas meja, kemudian menggunakan akalnya untuk menganalisa secara jujur di mana kebenaran itu tersimpan.
Sebenarnya ada bocorannya,... telitilah dengan seksama, dua buku saja yaitu Quran dan Sains,.. dan anda lebih mudah melihat permasalahannnya. Tapi jika anda memilih jalan yang lebih repot, bisa anda baca semuanya.
Inkonsistensi Logika dan Paradigma Ilmiah
Faktanya dalam beberapa kasus kerap kali atheis tidak berani menempuh konsistensi logika dan paradigma ilmiah, disebabkan beberapa faktor yang lebih bersifat eksternal. Tidak banyak orang yang sanggup menerima kebenaran yang bertentangan dengan prakonsepsi yang sebelumnya telah tertanam dalam hatinya. Kebenaran yang bersumber dari pihak lawan teramat sulit diterima sementara keinginan untuk mempertahankan pendapat yang salah terus saja menggebu. Benar salah menjadi sesuatu yang kabur. Tanpa sadar mereka terjebak dalam pertarungan menang kalah, bukan lagi benar atau salah. Pada titik ini mereka lebih memilih membohongi logika sendiri ketimbang menerima pendapat orang lain yang sebenarnya lebih logis, sehingga mereka masuk dalam kondisi inkonsistensi logika.
Beberapa kasus atheisme di kalangan ilmuwan terkesan jauh lebih angkuh lagi. Yang mereka tolak bukan saja logika yang benar, bahkan, mereka berani menolak paradigma ilmiah dengan mengajukan "keilmiahan lain" yang sejatinya masuk dalam kategori "pseudo ilmiah" (ilmiah palsu).
Paradigma ilmiah sejatinya selalu menuju pada keyakinan tentang eksistensi Tuhan, tetapi ketika opini ilmiah telah mengarah pada "bukti" keberadaan Tuhan, tiba tiba mereka "mengalihkan" pembahasan seraya tetap mengumumkan penolakan tentang ide Tuhan.
Data Tuhan Tentang Lawan Kebenaran
Kabar buruknya adalah bahwa dalam kondisi tanpa Tuhan, perjalanan mencapai kebenaran menghadapi “perlawanan” dengan rasio 1:2. Artinya 1 arah kebenaran melawan 2 arah kesalahan. Tentu saja data ini bersumber dari “wilayah Tuhan” yang ditolak Atheis.
Data ini saya ambil dari Quran. Atheis biasanya belum mau menggunakannya karena ini bersumber dari Tuhan. Tapi tak mengapa kita sampaikan duluan sebagaimana seorang pencari jejak saya menemukan data barangkali bermanfaat.
manusia bisa kita lihat dalam dimensi fisik biologis jasmaniah dan dimensi nonfisik psikis kejiwaan. dimensi nonfisik ini sebenarnya memiliki dua unsur penting yaitu jiwa(nafs) dan hati (qalb/akal). Hati (akal) adalah pusat logika dan kebijaksanaan (logic-wise), sedangkan jiwa merupakan penggerak atau semacam mesin pendorong untuk mengingini dan melakukan sesuatu. Rahasianya adalah bahwa dalam tiap tiap jiwa diilhamkan dua macam kecenderungan yaitu kecenderungan buruk (fujur) dan kecenderungan baik (taqwa).
fa alhamaha fujuuroha wa taqwa ha (maka "aku" ilhamkan pada tiap tiap jiwa itu "fujur" dan "taqwa")
qod aflaha man zakkaha (sungguh beruntung orang yang membersihkan jiwanya dari sifat fujur)
wa qod khooba man dassaha (sungguh celaka orang yang mengotori jiwanya dengan mengembangkan sifat fujur)
Dari data ini kita tahu bahwa dalam jiwa manusia ada potensi fujur yang merupakan lawan dari kebenaran. Hati (akal) menjadi penimbang salah benar, sehingga dia mampu untuk tetap memperkuat potensi taqwa dan menahan agar potensi fujur tidak terimplementasikan.
Kabar "buruk" nya adalah ada sekelompok makhluk tak kasat mata yang ikut mempengaruhi manusia agar memilih yang salah. Makhluk ini yang dikenal dengan sebutan setan yaitu Iblis dan kelompoknya. Mereka ini memiliki sejarah permusuhan abadi dengan moyang manusia. Mereka merasa telah gagal dan berusaha agar manusia juga gagal menjalani hidup.
Atheis bisa membaca lebih dulu sejarah ini dalam Quran. Disini saya harus katakan bocorannya bahwa Setan ini menjadi lawan kedua bagi manusia dalam menggapai kebenaran.
potensi taqwa dalam jiwa manusia berhadapan langsung dengan potensi buruk, ditambah satu lagi lawan eksternal yang dikenal dengan setan. Mereka ini jumlahnya sangat banyak dan memiliki mekanisme canggih dalam membisikkan kesalahan dalam jiwa manusia.
pertarungan benar salah yang tidak seimbang 1 lawan 2 inilah sebenarnya yang membuat lebih banyak orang yang gagal menemukan kebenaran dibanding yang berhasil mendapatkannya.
Kelemahan Manusia vs Kasih Sayang Tuhan
Semua Manusia Sesat Kecuali Yang Diberi Petunjuk
No comments:
Post a Comment